SINGARAJA, Aksi Perundungan masih menjadi momok yang mengerikan dalam dunia pendidikan, baik jenjang dasar, menengah maupun atas. Dampak kasus perundungan sangat buruk terhadap psikologis anak didik di sekolah. Bahkan, perundungan menjadi bagian dari tiga dosa besar pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi.
Menyikapi hal itu, Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng mulai menggalang aksi untuk menyuarakan stop perundungan atau bullying dalam dunia Pendidikan di Bali Utara. Aksi ini dilakukan dengan mengumpulkan ratusan kepala sekolah baik jenjang PAUD, SD, SMP di Buleleng pada Jumat (22/9) pagi di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja.
Ratusan guru dan kepala sekolah tersebut berkomitmen untuk mewujudkan sekolah yang bebas perundungan melalui deklarasi. Tak hanya itu, kegiatan ini akan ditindaklanjuti secara teknis di setiap sekolah masing-masing dengan berbagai aksi dan program.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, Dr. Made Sedana, M.Pd dalam pemaparannya menyebut keberhasilan bidang pendidikan bukan sekadar mencetak generasi menjadi cerdas secara akademik semata. Tetapi juga bertanggung jawab melahirkan anak didik yang memiliki karakter dan moral yang berbudi pekerti luhur.
“Karakter itu tentu melahirkan anak didik yang santun, jujur dan bermoral. Selama ini sering kita temukan pelaku bullying itu tidak hanya dilakukan oleh teman sebaya, tetapi juga sering secara tanpa sengaja terlontar dari kata-kata seorang guru sebagai pendidik. Meski tujuannya untuk membakar semangat siswa agar mau belajar, tetap terkadang kata-kata itu justru melukai psikologis siswa,” papar Sedana.
Dampaknya, siswa akan melakukan hal-hal di luar nalar karena perasaannya sudah terlukai dan diselimuti oleh api dendam. Mata rantai perundungan ini harus segera diputus dengan kerja keras seluruh stake holder.
“Kami ingin menjadi bagian dalam memutus rantai bullying itu. Dan sekarang harus dimulai, dengan aksi nyata. Seluruh sekolah harus komitmen dalam memutus rantai perundungan dari waktu ke waktu,” harapnya.
Memutus rantai bullying juga menjadi perhatian khusus bagi Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak, Made Riko Wibawa. Body shaming, labelling hingga perundungan terhadap penampilan.
“Orang tua secara tidak sadar menjadi pelaku bullying. Guru di sekolah juga sering tidak sadar. Tidak bisa dipungkiri tentu anak anak saat berinteraksi mereka bisa melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan temannya,” paparnya.
Ironisnya, korban bullying justru akan rentan menjadi pelaku bullying kedepannya. Kondisi ini terjadi karena mentalnya sudah mulai terganggu. Dampak bullying tak hanya menyakiti perasaan, tetapi sudah mengarah kepada kekerasan fisik. Kasus ini sebut Ricko Wibawa pernah menghebohkan masyarakat Indonesia, jika seorang anak nekat membakar Gedung sekolahnya karena kerap menjadi korban pembulian.
“Ada lagi seorang pelajar tega menusuk temannya dengan gunting, lantaran sakit hati terlalu sering dibully. Ini harus kita hentikan. Karena dampaknya sudah parah,” ajaknya.
Ia juga mengajak agar orang yang menjadi korban bully untuk tidak malu melapor,
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan olahraga Kabupaten Buleleng, Made Astika mengapresiasi Upaya Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng dalam mencegah aksi bullying di sekolah. Pihaknya mengajak seluruh stake holder untuk bahu membahu mewujudkan Buleleng yang ramah anak dan bebas bullying.
Menurutnya, aksi nyata bisa dilakukan dengan mewujudkan hari bebas perundungan atau Roots Day. Bahkan, program roots day bisa melahirkan anak-anak yang kelak menjadi agen perubahan untuk mengatasi perundungan.
“Kami siap bersinergi dengan berbagai stake holder untuk mewujudkan sekolah di Buleleng bebas bullying. Dan kami berterima kasih kepada dewan Pendidikan Buleleng yang sudah menjadi mitra kerja untuk melakukan pengawasan dalam dunia Pendidikan,” singkatnya.(TIM)