Senandung Giri : Politik Soroh, Kambing dan Kucit

Catus Pata, Pemilihan Umum, Pemilu tahun 2024 akan segera berlangsung, tepatnya tanggal 14 Peberuari 2024.  Tanggal yang bertepatan dengan hari kasih sayang akan memberikan ruang gerak atau keleluasaan bagi masyarakat yang telah memiliki hak pilih untuk menentukan pilihan. Itupun kalau mereka tidak tersandera oleh politik soroh, politik kucit maupun politik kambing. Lho kok? Ya belakangan banyak trik politik dilakukan oleh para politisi. Dalam politik sikap dukung mendukung adalah hal yang wajar, bahkan sudah menjadi rahasia umum.

Di Bali soroh atau klan masih sangat kental, terutama bagi pemilih yang masih bersifat tradisional. Soroh atau garis keturunan laki-laki yang biasa disebut dengan purusa/sistem patrilineal merupakan cara orang Bali untuk membedakan kelompok masyarakat. Setiap soroh masing-masing memiliki kawitan atau tempat penghormatan untuk leluhur, yang di dalamnya terdapat Pura Dadia. Situasi ini sering dimanfaatkan untuk mempengaruhi pemilih. Berbekal bisama atau fatwa , para politisi biasanya mengajak simpatisannya untuk taat, mengingat dalam setiap bisama ada satu kata yang sangat sakral yakni sutindih yang berarti  atau membela. Mungkin bagi masyarakat kelas menengah keatas, politik soroh sudah dianggap kekanak-kanakan, namun bagi golongan arus bawah politik dengan gaya ini masih sangat laku. Buktinya jelang pemilu tidak sedikit soroh yang menggelar pertemuan untuk menentukan sikap membela soroh dengan balutan lokasabha, mahasabha atau sebutan lainnya.

Lalu bagaimana dengan politik kambing? Hmm, politik model ini sesungguhnya merupakan sebuah ide untuk memelihara konstituen tanpa mempertimbangkan soroh. Gaya politik “kambing” ini biasanya dilakukan oleh para politisi incumbent. Betapa tidak jumlah bansos yang sama antara peraih suara terbanyak dengan suara yang sangat minim membuat kondisi tidak nyaman ini dialami oleh sejumlah wakil rakyat. Disatu sisi konstituen selalu menuntut pelayanan maksimal, jika tidak “ancaman”untuk memutus kontrak politik akan terus membayangi. Disatu sisi para wakil rakyat punya komitmen untuk tidak memanjakan konstituennya. Maka cara barter ditempuh dengan memberikan bibit kambing kepada para konstituen. Bibit kambing ketika sudah beranak akan didistribusikan kepada konstituen lain untuk memeliharanya. Bukan hanya memelihara para anggota dewan juga mendidik konstituen untuk belajar berjualan sate kambing, lawar kambing dan olahan masakan lainnya berbahan dasar kambing. Tak heran jika belakangan muncul istilah caleg kambing he he he. Hal serupa juga dilakukan dengan mengambil model yang sama dengan menyebarkan kucit atau bibit babi. Kalau yang satu ini jelas bahwa bibit babi telah disebar lebih dari empat bulan lalu. Tujuannya tak lain dan tak bukan  untuk menjamin para konstituen, terutama petugas partai pada TPS dengan masakan olahan berupa babi guling, he he he.

Lalu dari tiga model politik itu, politik mana yang paling efektif ? Mari kita tunggu pada Pemilu mendatang.

Tim Pemberitaan Dewata Roundup. (Tut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *