Senandung Giri: Obsesi Raja Negeri  


Catuspata
, Alkisah di sebuah negeri pada jaman dulu kala  terhampar ribuan hektar sawah dan ribuan tanaman buah Kala itu diceritakan bahwa menjadi anggota subak adalah sebuah  kebanggan. Sebab hanya pemilik sawah yang bisa menjadi anggota subak. Negeri yang dikenal dengan nama belang-belang memiliki pemandangan yang masih alami. Betapa tidak Dewata menganugerahkan pemandangan yang nyegara gunung. Maksudnya maksudnya?? Di gunung melihat segara dan saat berada di segara bisa melihat gunung  he he he. Rakyat sagilik, saguluk salunglung sabayantaka. Paras-Paros, sarpanaya. Cuaca masih bisa dibaca berdasarkan sasih. Jika sasih kaulu tiba pertanda hujan deras disertai angin kencang akan terjadi. Jika memasuki sasih kepitu berarti musim kemarau panjang akan tiba. Bahkan saking keringnya tanahpun hingga kepit atau terbelah. Para siswa kala itu diceritakan sangat patuh kepada guru pengajian. Sumber air masih ditemukan disana-sini. Air sungai bukan hanya untuk mencuci tapi juga untuk diminum..

Tapi kini apa yang terjadi? Hamparan sawah semakin menipis. Pohon hanya berbuah hama penyakit dan ulat bulu. Pemandangan nyegara gunung sudah menjadi gunung  tembok.  Lalu cuaca menunjukkan anomali. Saat musim kemarau terjadi hujan yang sangat lebat hingga mengakibatkan banjir. Sementara pada musim hujan terjadi kemarau panjang. Bukan hanya itu banyak siswa yang menentang para guru pengajian. Yang jelas para siswa kini sudah belajar merdeka, dikisahkan juga rakyat yang dulu berolahraga di lapangan kini banyak berolahraga di jalanan he he he.

Melihat kenyataan itu raja negeri belang-belang melakukan lelaku, sekala niskala yang menjadi kebiasaan raja negeri belang-belang mengikuti tradisi sejak jaman dulu. Raja murah senyum ini menuju sebuah tempat keramat di wilayah timur negeri. Untuk keperluan semedi kali ini raja hanya ditemani satu orang punggawa kesayangannya. Dipilihnya tempat di kaki lembah bukit yang berhawa sejuk. 

Kini dikisahkan raja berbadan gempal ini mulai memejamkan mata untuk memusatkan pikiran menjelajah awang-awang. Memasuki hari ketiga dalam pertapaannya raja negeri hanya melihat awan menggumpal di seantero negeri. Raja jago lobi inipun melantunkan japa mantra agar secepatnya diberikan petunjuk sehingga kesejahteraan rakyat semakin dekat walau lengser keprabon sudah dekat pula.

Kini dikisahkan pertapaan raja negeri memasuki hari ke sebelas. Dipilihnya sebuah batu tipis lebar untuk bersila sembari menghubungkan diri dengan Hyang parama Kawi. bertepatan dengan perwani purnama Jiesta. Saat mulai mencakupkan tangan sebuah bayangan berkelebat. Diikutinya bayangan itu dengan pancaran pikiran yang tajam hingga bayangan itu duduk pada sebuah ketinggian. Lalu muncul suara gaib:

“Wahai raja negeri. Sadarilah bahwa aku telah menciptakan Rwa bineda di bhuwana alit ini. Ada hitam ada putih, ada  naik ada turun, ada susah ada senang. Rakjyatpun demikian adanya. Ada kalanya mereka panen raya ada kalanya hanya panen gaya, ada kalanya padi menguning  dan ada kalanya petani sumbing, ada kalanya air melimpah, ada kalanya rakyat ngepah. Ada kalanya jambret merembet, tapi ada saatnya ia kepleset bahkan diseset timah panas. 

Usai melakukan lelaku raja negeri bergegas menuju pusat istana. Walau jelang lengser keprabon raja jago lobi ini menitipkan pesan kepada puggawanya agar menyediakan lahan untuk pembuatan lapangan sehingga rakyat negeri dapat berolahraga lebih leluasa.

Tim Pemberitaan Dewata Round Up. (tut/dpa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *