Buleleng, Ratusan Siswa SMP di Buleleng Tak Lancar Membaca, Dewa Nyoman Sukrawan menyebutkan Ini Tamparan Keras Dunia Pendidikan Buleleng.
Temuan mengejutkan terkait rendahnya kemampuan membaca di kalangan siswa tingkat SMP di Kabupaten Buleleng menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan. Dari total 34.062 siswa SMP, tercatat sebanyak 155 siswa masuk kategori Tidak Bisa Membaca (TBM), sementara 208 siswa lainnya tergolong Tidak Lancar Membaca (TLM).
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dan kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari tokoh masyarakat Buleleng, Dewa Nyoman Sukrawan. Kepada Reporter radio nuansa giri fm pada rabu (16/04) Sukrawan menyebut fakta tersebut sebagai sebuah tamparan keras bagi dunia pendidikan di Buleleng, yang selama ini dikenal sebagai kota pendidikan.
“Saya sebagai masyarakat Buleleng merasa sangat prihatin dan malu mendengar bahwa ada ratusan anak SMP yang belum bisa membaca dengan lancar, bahkan buta huruf. Apalagi Buleleng selama ini dikenal sebagai kota pendidikan, memiliki universitas ternama, tetapi kenyataannya masih ada peserta didik yang belum menguasai kemampuan dasar seperti baca tulis. Judulnya baca tulis, tapi yang terjadi justru baca ketik. Guru dan Dinas Pendidikan seharusnya mewajibkan tugas sekolah ditulis tangan. Menulis akan mendorong anak membaca, sehingga kemampuan baca tulis mereka meningkat,” katanya.
Sukrawan juga menyoroti budaya pembiaran di dunia pendidikan yang cenderung meluluskan seluruh siswa tanpa mempertimbangkan kesiapan kemampuan dasar. Ia menekankan pentingnya ketegasan dalam menegakkan standar kelulusan.
“Kalau terus begini, semua saling lempar tanggung jawab. Mulai dari SD, SMP, hingga SMA meluluskan anak-anak tanpa melihat kesiapan mereka. Ini tanggung jawab semua stakeholder bupati, DPRD, Dinas Pendidikan jangan sampai anak sudah SMP tapi belum bisa baca tulis.Wajibkan anak SD untuk menulis, bukan mengetik. Kalau memang belum layak naik kelas, ya jangan dipaksakan. Ajarkan mereka kembali dari dasar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sukrawan menilai bahwa persoalan ini akan berdampak langsung terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) di Buleleng.
“Pemimpin daerah harus tegas mengambil langkah, ini sangat memalukan. Kita mencetak guru seluruh bali dari undiksha setiap tahun. tetapi kita sumber dari melahirkan guru seperti ini sangat memalukan, saya sebagi orang buleleng malu,” tutupnya.
Sebelumnya, Plt. Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi menjelaskan bahwa Gangguan belajar ini, banyak disebabkan karena rendahnya motivasi belajar dan persoalan dalam keluarga, seperti kondisi rumah tangga yang tidak harmonis. Dampak pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 juga turut berkontribusi.
“Kalau disleksia persentasenya rendah. Lebih banyak dari motivasi belajar rendah, dan broken home,” katanya.
Sementara, Ketua Dewan Pendidikan Buleleng Made Sedana menyebut bahwa kondisi ini merupakan cerminan dari masih rendahnya tingkat literasi anak-anak di daerah. Dewan Pendidikan menyarankan agar dilakukan pemetaan awal (mapping) terhadap kondisi para siswa, guna mengetahui secara spesifik kebutuhan mereka, termasuk kemungkinan adanya kebutuhan khusus.
“Selain itu, beban administrasi yang tinggi juga menyebabkan guru kehilangan fokus dalam membimbing kemampuan dasar siswa seperti membaca,” ungkapnya.(uka)