Paket Agung, Bekerja sama dengan Radio Nuansa Giri, Desa Adat Buleleng gelar diskusi bertajuk Krematorium Antara Bisnis dan Akademis.
Keberadaan Krematorium menjadi polemik di masyarakat dengan berbagai alasan, namun belakangan keberadaan krematorium mulai meningkat, beberapa desa di Buleleng muali mengambil ancang-ancang untuk membangun krematorium di wilayahnya masing-masing, dan tak sedikit pula kesan dimasyarakat keberadaan crematorium menjadi ajak bisnis.
Guna membahas hal tersebut, Desa Adat Buleleng bersama Radio Nuansa Giri menggelar acara diskusi bertajuk “Krematorium Antara Bisnis dan Akademis” bertempat di Wantilan Sekretariat Desa Adat Buleleng, Kamis 14 Oktober 2021 dengan menghadirkan enam narasumber.
Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna mengungkapkan, bahwa salah satu krematorium yang ada di Buleleng adalah ada di Desa Adat Buleleng yang telah di sesuaikan menjadi Petunon serta dibuatkan organisasi pengelola setra Desa Adat Buleleng yang pada intinya tujuannya adalah sebagai upaya untuk membantu serta meringankan umat dalam menjalankan upacara pitra yadnya tentunya tanpa mengurangi makna dari upacara tersebut. “Tujuannya ini kami membuat krematorium berlandasan membantu krama supaya krama bisa lebih mudah dan efisien dan suka duka di pura dalem membuatlah paket,”pungkasnya.
Ketua Pengelola Setra Desa Adat Buleleng Ketut Suryada, Jauh sebelum petunon Desa Adat Buleleng dibangun, pengelolaan kontribusi untuk Desa Adat Buleleng telah tercantum pada awig-awig yang disebut sebagai Penanjung batu, namun setelah petunon di dirikan kontribusi yang masuk mengalami peningkatan. “Dengan adanya pembangunan ini sehingga pendapatan kita melonjak, tapi itu sudah dari dulu adatnya ada,”ujarnya.
Penasehat Suka Duka Pengemong Pura Dalem desa adat Buleleng Made Dharma Tanaya, mengacu kepada topik diskusi Krematorium antara bisnis dan akademis dirinya dengan lugas menyebutkan, bahwa Petunon atau crematorium yang ada di Desa Adat Buleleng menerapkan keduanya antara sosial dan bisnis dengan kajian akademis namun lebih mengedepankan asas sosial. Iapun mencontohkan upacara mekingsan digeni yang maish disubsidi oleh Sukaduka. “Ini bisnis atau sosial, ini bisnis dan sosial. Karena tanpa bisnis tidak akan jalan,”ungkapnya.
Dari sisi kajian akademis, Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Dr. I Wayan Miarta Putra, S.Ag.,M.Ag mengungkapkan, keberadaan krematorium secara kajian teori tidak ada permasalah selama mengikuti aturan adat, karena awig-awig desa sudah mengatur semuanya seusai Desa Kala Patra dan Desa Mawicara. “Dari pandangan akademisi seperti itu, kremasi adalah pembakaran mayat, terus bagaimana membakarnya? ini juga proses menggunakan dengan krematorium,”imbuhnya.
Hal Senada juga diungkapkan Drs. Ketut Wijana selaku Wakil Ketua II Bidang. Keagamaan dan Lintas Imam PHDI Buleleng, pihaknya berpendapat bahwa selama aturan adat dan agama dijalankan tentunya tidak akan menjadi masalah karena semua sudah jelas diatur, baik darin sisi tempat, pelaksaannya serta ke tatanan sarana dan prasarana upakara. “Ini sudah sesuai dengan sastra yang ada, bahwa kalau ini setra pasti ada ulun setra dan tempat sucinya yang disebut dengan prajapati dan pembakarannya juga ada dewanya, dan sekarang kalau mau membangun petunon hal yang harus disampaikan tadi harus ada,”terangnya.
Sementara itu, disinggung terkait apakah krematorium akan merongrong sendi adat dan budaya, Ketua Majelis Desa Adat Buleleng Dewa Putu Budarsa berpendapat bahwa jauh sebelum pengaruh krematorium masuk, Desa Adat bali sudah melaksanakan konsep tersebut namun saja dengan pelaksaan yang sedikit berbeda, Saat ini pihaknya sangat mendukung keberadaan krematorium yang dikelola oleh Desa Adat di Buleleng tentunya dilandasi awig-awig yang ada dan prinsip menyame braya. “Tetapi karena efisien kita saya sangat menghendaki bahwa ini bisa di efensiasi, saya ingin memberikan saran sehingga tidak ada pengkikisan antara adat dan budaya kita,”ungkapnya.(eta/dpa)