
Catus Pata, Wilayah Buleleng dengan luas hampir seperempat Pulau Bali sangat rentan akan terjadinya bencana yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Setiap kali memasuki musim pancaroba, Buleleng hampir selalu berada dalam status waspada. Peralihan cuaca yang ekstrem kerap memicu banjir, tanah longsor, angin kencang, hingga pohon tumbang yang berdampak langsung pada keselamatan warga dan aktivitas ekonomi. Karakter geografis Buleleng yang nyegara gunung mulai dari kawasan pegunungan dan perbukitan di selatan, daerah aliran sungai yang panjang, hingga garis pantai 157 kilometer lebih atau terpanjang di Bali menuntut penanganan kebencanaan yang lebih serius dan terencana. Sayangnya, bencana sering kali masih diperlakukan sebagai kejadian musiman, bukan sebagai risiko yang harus dikelola sepanjang tahun.
Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi krusial. Pemerintah tidak cukup hanya hadir saat bencana terjadi, tetapi harus berada di garis depan pada fase pencegahan dan mitigasi. Pemetaan wilayah rawan bencana harus diperbarui secara berkala dan dijadikan dasar kebijakan pembangunan. Penataan ruang, perizinan bangunan, hingga pengawasan kawasan resapan air tidak boleh ditoleransi menginagt ketegasan pemerintah menjadi taruhan keselamatan masyarakat. Selain itu, kesiapan infrastruktur kebencanaan harus menjadi prioritas nyata Normalisasi sungai, perbaikan drainase, penguatan tebing rawan longsor, hingga pemangkasan pohon besar di jalur publik jangan menunggu sampai ada laporan korban ya nggak ya nggak .
Disatu sisi kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi fondasi utama dalam membangun ketangguhan daerah. Alih fungsi lahan di kabupaten Buleleng tampaknya masih terus terjadi seiring dibukanya ijin untuk perumahan. Masyarakat perlu memaknai kesiapsiagaan sebagai kebutuhan bersama, bukan beban. Warga di daerah rawan harus dibekali pengetahuan kebencanaan yang memadai, mulai dari mengenali tanda-tanda alam, memahami jalur evakuasi, hingga membangun solidaritas komunitas saat situasi darurat. Kearifan lokal yang selama ini hidup di masyarakat Buleleng sesungguhnya dapat menjadi modal penting jika dihidupkan kembali dan disinergikan dengan pendekatan modern.
Buleleng tidak boleh terus berada dalam lingkaran reaksi setelah bencana. Sudah saatnya membangun budaya antisipasi yang kuat, berkelanjutan, dan berpihak pada keselamatan manusia. Walau alam memang tak bisa dikendalikan, tetapi dampaknya tentu bisa diminimalkan jika semua pihak mau bergerak sebelum hujan benar-benar turun. Pada akhirnya, musim pancaroba mengajarkan satu hal penting yakni kewaspadaan tidak pernah datang terlambat, justru kelalaianlah yang sering datang lebih dulu. Sesungguhnya bencana bukan semata soal alam yang murka, tetapi tentang manusia yang lupa bersiap he he he
Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(tut)
