Senandung Giri : Kunjungan Kerja, Antara Evaluasi dan Seremoni

Catus Pata, Sejak dua minggu lalu, paket Bupati Nyoman Sutjidra dan wabup Gede Supriatna menggelar kunjungan kerja. Kunker ini menjadi sorotan publik setelah paket yang dilantik bulan Pebruari lalu meninjau sejumlah proyek pembangunan di berbagai wilayah. Seperti lazimnya, agenda turun lapangan ini dikemas dengan rapi dalam balutan protokoler dan dokumentasi resmi. Namun, pasca rangkaian kunker tersebut, justru muncul komplain dari salah satu desa mengenai proyek jalan yang sebelumnya mereka usulkan namun tak kunjung mendapatkan penanganan seperti yang dijanjikan. Yang menjadi pertanyaan apakah kunjungan kerja benar-benar menyentuh akar masalah, atau hanya menyentuh permukaan? Dalam praktik birokrasi kunjungan kerja sering kali mengalami degradasi fungsi. Yang seharusnya menjadi instrumen evaluasi kinerja, berubah menjadi ritual seremonial seperti penyambutan berlebihan, jalan protokoler peninjauan yang sudah dipoles, dan narasi keberhasilan yang lebih menonjol daripada dialog kritis. Belum ada kunker seperti Presiden Jokowi yang mengalihkan jalur kunjungan ke jalan yang tidak bisa dilintasi  he he he.

Disatu sisi Program Mesadu, yang berfungsi sebagai wadah warga menyampaikan aspirasi dan keluhan, sejatinya merupakan kanal penting bagi pemerintahan yang ingin responsif. Namun, tanpa integrasi dengan kunjungan kerja, Mesadu hanya menjadi tempat menumpuk laporan. Warga boleh berbicara, tetapi tidak ada jaminan bahwa suara mereka menjadi prioritas dalam agenda turun lapangan. Sudah semestinya  setiap keluhan strategis terutama yang berkaitan dengan infrastruktur dasar otomatis masuk ke daftar pengecekan saat kunjungan kerja. Ketika hal ini tidak terjadi, maka alur aspirasi menjadi tumpul. Kunker berjalan sendiri, Mesadu berjalan sendiri. Akibatnya, pemerintah mendengar aspirasi tanpa memverifikasi, sementara kunjungan lapangan hanya memverifikasi apa yang sudah ingin dilihat.

Masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan seremoni. Mereka membutuhkan solusi. Mereka ingin jalan yang layak, pelayanan publik yang jelas, dan pembangunan yang merata. Sayangnya, dalam banyak kunjungan, energi justru habis untuk memoles citra, bukan membongkar persoalan ya nggak ya nggak?

Sudah saatnya pemerintah daerah mengembalikan makna kunjungan kerja ke fungsi paling mendasar yakni pengawasan dan evaluasi .

Komplain desa Bukti  pasca kunjungan bukan sekadar uneg-uneg. Itu adalah peringatan bahwa kehadiran pejabat di lapangan belum mampu menghadirkan kepastian. Kritik ini dapat menjadi momentum  apakah pemerintah daerah akan mengoreksi pola kunjungannya, atau tetap bertahan dalam tradisi seremoni yang menghabiskan energi tanpa menghasilkan perubahan? Di tengah tuntutan publik yang semakin kritis, kunjungan kerja tidak lagi bisa menjadi agenda formalitas. Kunker harus menjadi alat pemerintahan yang fungsional bukan panggung untuk menunjukkan kehadiran, tetapi medium untuk memastikan masalah benar-benar terselesaikan. Jika tidak, kunjungan kerja hanya akan menjadi jejak langkah yang meninggalkan dokumentasi indah, namun masalah tetap tinggal di tempat.

Karena pada akhirnya, pemerintahan yang baik tidak diukur dari panjangnya rombongan, tetapi dari panjangnya solusi yang diberikan ya nggak ya nggak

Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(tut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *