Yoga Suwendra, Menghidupkan Topeng di Tengah Gempuran Zaman

Singaraja, Di teras rumah bercat putih di Banjar Dinas Penarungan, Kelurahan Penarukan, Buleleng, pada siang 15 Agustus 2025, aroma khas kayu pule dengan bau alami cat menari di udara menyambut siapa pun yang melintas.

Di sudut teras, seorang lelaki bertato duduk bersila di atas lantai keramik. Jemarinya lincah menari, mengayunkan pahat dan palu kecil dalam irama yang mengingatkan pada denting gamelan di pura. Suara tek..tek..tek..tek..tek.. itu bukan sekadar bunyi pukulan, melainkan detak kelahiran sebuah wajah kayu yang kelak menari di panggung tradisi Bali.

Dialah Yoga Suwendra Wijaya (38), atau akrab disapa Jro Yoga salah satu dari sedikit pengrajin topeng yang masih bertahan di Buleleng. “Topeng itu bukan sekadar benda mati. Ia punya jiwa,” ucapnya sembari menghaluskan lekuk pipi topeng berbahan kayu pule yang sedang ia garap.

Jro Yoga tidak pernah secara resmi menempuh pendidikan seni pahat, meski menempuh pendidikan di ISI Denpasar yang kini berubah nama menjadi ISI Bali. Ia belajar membuat topeng secara otodidak sejak 2008. Baginya, pembuatan topeng adalah perpaduan keterampilan, doa, dan warisan leluhur.

Tahapannya dimulai dari membuat bakalan, ngerupa (membentuk rupa), menghaluskan, hingga memberi warna. “Satu topeng biasanya selesai dalam waktu seminggu, tergantung kerumitannya,” jelasnya.

Kayu yang digunakan tidak sembarangan. Untuk topeng tarian, ia memilih kayu pule sedangkan untuk topeng sakral, kayu kamboja atau kepuh. Kadang ada pembeli yang membawa kayu sendiri, namun lebih sering ia mencarinya sendiri bahkan hingga ke Gianyar. “Kalau buat topeng tarian, harus pakai perasaan. Ada istilahnya ‘kleteg bayu’ atau insting, semacam getaran batin. Kalau topeng sakral, harus ada upacara dan banten agar cepat jadi dan siap dipakai di pura,” ujarnya.

Menurutnya, topeng khas Buleleng memiliki karakter yang lebih klasik dan pekat dibandingkan gaya dari daerah lain. “Sekarang banyak topeng yang jauh dari pakem, tapi saya tetap jaga bentuk asli topeng Buleleng. Saya hanya menggabungkan unsur klasik dan sedikit sentuhan modern, tapi tetap menghormati pakemnya,” tegasnya.

Kecintaannya pada seni terutama topeng membuatnya sulit melepas karya yang ia rasa bernyawa. Salah satu karya paling berkesan baginya adalah Topeng Sidakarya. “Kadang saya bikin topeng yang pas di hati ‘kleteg bayu’ rasanya sayang mau dijual. Tapi kalau nggak dijual, kita nggak makan,” katanya setengah tersenyum.

Meski tak gencar promosi, pemesan datang dari Buleleng, Denpasar, Tabanan, Gianyar, bahkan luar negeri. Pada 2017, Topeng Rangda dan Topeng Gede Sakti karyanya terbang ke Jerman.
Soal harga, ia tak punya patokan pasti. “Relatif. Topeng pajegan mulai 900 ribu. Barong bisa 14 juta ke atas,” sebutnya.

Bagi Jro Yoga, topeng adalah identitas leluhur yang tak boleh punah. “Jangan anggap pengrajin topeng itu pekerjaan orang tua. Kita harus lestarikan. Saya membuat topeng bukan karena uang, tapi karena ini warisan budaya,” tegasnya.

Di tengah arus modernisasi, Jro Yoga adalah penanda bahwa tradisi tak sekadar bertahan, tetapi hidup, bernapas, dan bercerita. Topeng-topeng yang lahir dari tangannya tidak hanya menghuni panggung, tetapi juga hati, menari di ruang batin siapa pun yang mau mendengar kisahnya.(uka)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *