Senandung Giri : Mutasi Antara Promosi dan Degradasi

Catus Pata, Dalam waktu dekat, Pemerintah Kabupaten Buleleng akan melakukan mutasi jabatan. Sebuah proses yang lazim dalam dinamika birokrasi, namun selalu menarik perhatian karena di dalamnya sering tersembunyi berbagai makna dari promosi sebagai bentuk penghargaan, hingga degradasi sebagai sinyal koreksi atau bahkan hukuman. Sinyal ini dikemukakan Bupati Buleleng Nyoman Sutjidra belum lama ini. Bahkan konon mutasi tinggal menunggu hari baik. Biasanya sih mengambil tanggal yang bejumlah tujuh…lho kok? Ya agar tujuan tercapai he he he

Mutasi bukan sekadar memindahkan atau mengganti posisi seseorang dalam struktur pemerintahan. Pergeseran atau pengisian jabatan ini  mencerminkan arah kepemimpinan, konsolidasi kekuatan, serta peneguhan nilai-nilai loyalitas dan kinerja. Sebagaimana pepatah lama mengatakan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” setiap aparatur sipil negara harus tunduk dan patuh pada pimpinan yang sah, sebagai bagian dari sistem yang menjunjung tinggi asas profesionalisme dan netralitas. Jika pada  masa pemerintahan Penjabat (Pj) Bupati sebelumnya, ASN di Buleleng dituntut untuk taat pada arah kebijakan sang Pj Ketut Lihadnyana, .kini, di bawah kepemimpinan definitif pasangan Sutjidra–Supit, orientasi loyalitas pun seharusnya tidak lagi terbagi. Loyalitas ganda bukan hanya berbahaya bagi individu, tetapi juga mengganggu stabilitas organisasi pemerintahan. ASN wajib menjunjung loyalitas tunggal: pada pimpinan yang sah dan sistem yang berlaku, atau sitilahnya kini move on yuk move on….

Demikian halnya dengan badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan, baperjakat. Bentukan tim ini sudah semestinya memberikan data yang akurat  kepada bupati Buleleng agar pemegang kebijakan tidak salah dalam mengambil keputusan. Sistem meritokrasi memang iya tapi sudah semestinya bupati dan wakil bupati berdiskusi dengan calon kepala dinas yang akan dipromosikan agar tidak ada penyesalan ditengah jalan. Yang paling penting dalam proses mutasi ini adalah asas keadilan. Mutasi tidak boleh dijadikan ajang balas budi, apalagi alat balas dendam. Pergeseran atau pegisian jabatan wajib dijalankan berdasarkan evaluasi kinerja, kompetensi, serta kebutuhan organisasi. Bukan karena faktor like or dislike, bukan pula karena kedekatan .

Harapan masyarakat  sederhana: mutasi harus menjadi momentum penyegaran birokrasi, bukan ajang politik praktis yang dibungkus dalam birokrasi. Karena hanya dengan birokrasi yang bersih, profesional, dan loyal pada sistem, pembangunan dan pelayanan publik di Buleleng dapat berjalan lebih baik. Istilahnya para calon kepala SKPD wajib memegang azaz tegus sebagai pelayan masyarakat bukan harus dilayani oleh masyarakat.

Mutasi yang baik akan melahirkan promosi yang pantas. Sebaliknya, jika niatnya keliru, mutasi justru bisa menjadi bentuk degradasi  tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi marwah institusi pemerintahan itu sendiri. Ya nggak ya nggak

Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(tut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *