Senandung Giri : Ketika Buleleng Tertampar Buta Aksara

Catuspata, Buleleng, kabupaten luas di utara Bali, dikenal dengan kekayaan budaya, sejarah panjang perjuangan, dan bentang alam yang memukau. Tapi di balik semua kebanggaan itu, ada satu kenyataan pahit yang sering luput dari sorotan : buta aksara. Ya, di abad ke-21 ini, ketika dunia sudah bicara tentang kecerdasan buatan, kota pintar, dan literasi digital, masih ada warga Buleleng yang tak bisa membaca dan menulis alias buta aksara. Sebuah kenyataan yang seharusnya menyentak kesadaran kita bersama. Temuan mengejutkan terkait rendahnya kemampuan membaca di kalangan siswa tingkat SMP di Kabupaten Buleleng menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan. Dari total 34.062 siswa SMP, tercatat sebanyak 155 siswa masuk kategori Tidak Bisa Membaca (TBM), sementara 208 siswa lainnya tergolong Tidak Lancar Membaca (TLM).

Menurut data dari berbagai sumber, Buleleng masih menyumbang angka cukup besar dalam jumlah penduduk yang buta aksara di Bali. Ini bukan hanya angka statistik. Di balik itu ada wajah-wajah tua yang tak pernah mengenal huruf, ada anak-anak yang tumbuh tanpa buku, ada para ibu yang tak bisa membaca label obat untuk anaknya, atau tak bisa menulis namanya sendiri saat mengurus administrasi. Di balik angka itu, ada kehidupan yang terjebak dalam sunyi. Memang harus diakui jika ada beberapa orang yang tidak fasih membaca namun dia pandai berhitung ya nggak ya nggak. Apalagi ngitungnya uang nyata bukan pelajaran perkalian. Mau bukti? Coba cek para pedagang tradisional. Dia terang terangan mengaku tidak bisa membaca dan menulis tapi kalau soal uang dia tahu pasti he he he.

Ironis memang. Karena Buleleng bukanlah daerah tanpa akses pendidikan. Sekolah-sekolah ada, program pemerintah jalan, bahkan inisiatif literasi tumbuh perlahan di beberapa desa. Namun tetap saja, warisan buta aksara ini seolah begitu sulit diberantas. Mengapa? Pertama, faktor ekonomi masih menjadi penghalang utama. Banyak keluarga di pelosok Buleleng yang lebih memilih anak-anaknya membantu di ladang atau pasar ketimbang duduk di bangku sekolah. Dibalik sulitnya mencari sekolah pada tahun ajaran baru,  tidak sedikit orangtua yang hanya nyekolang anak bukan nyekolahang. Kedua, minimnya pemerataan guru berkualitas dan fasilitas pendidikan di desa-desa terpencil membuat mereka yang tinggal jauh dari pusat kota semakin tertinggal.  Ketiga, budaya membaca belum sepenuhnya hidup. Buku belum menjadi bagian dari keseharian, baik di rumah, sekolah, maupun di ruang publik. Dan yang keempat adalah faktor teknologi. Lho kok? Bukankah teknologi yang membantu mencerdaskan? Oh jangan salah. Pada saat covid-19 pembelajaran dilakukan dengan sistem online. Pada saat itulah petaka mulai terbuka. Ketika siswa dijejali tugas online, mereka yang tidak punya hp akan masa bodo. Disatu sisi ada kebijakan guru dilarang tidak menaikkan atau meluluskan siswa. Pokokne apang lewat dogen di kelas yang bersangkutan. Urusan berikutnya terserah guru dikelas atasnya he he he. Termasuk juga program merdeka belajar yang mulai diplesetkan benar-benar merdeka untuk tidak belajar he he he.

Kemampuan untuk mencetak ribuan guru belum menjamin untuk memberantas buta aksara mengingat guru kini banyak dijejali tugas administrasi. Apalagi guru kini bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa lho kok??? Guru kini adalah pahlawan yang dikejar-kejar jasa…contohnya- contohnya,,,guru dikejar jasa les, guru dikejar jasa sertifikasi, dan jasa-jasa lainnya. Tapi ini bukan akhir dari segalanya bro.  Justru ini harus menjadi titik balik. Pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas literasi, dan seluruh elemen masyarakat perlu bergandengan tangan. Bukankah dengan kenyataan ini semua mata tertuju pada Buleleng?  Termasuk pemerintah pusat? Ayo segera sambut kucuran program untuk menuntaskan angka buta aksara di Buleleng. Jangan ada ego sektoral, jangan ada jiwa-jiwa apatis terhadap persoalan ini, kurangi sikap boyaisme. Terobosan program harus disuarakan hingga ke pemerintah pusat agar kebijakan untuk tidak meluluskan siswa yang belum bisa membaca, menulis dan berhitunng dipertimbangkan kembali. Mari kita berjiwa besar, Buleleng sejak dulu dikenal dengan kota pendidikan harus tertampar dengan angka buta aksara yang cukup tinggi. Ingat setiap peristiwa pasti ada maknanya Pendekatan yang manusiawi dan berbasis komunitas harus segera ditempu termasuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, PKBM.

Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(Tut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *