Senandung Giri : Haruskah Pecalang Show of Force ?

Catus pata, Keberadaan pecalang semakin diakui dan diperkuat dengan adanya penghargaan dan pengakuan dari pemerintah daerah, seperti Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.  Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, tugas pecalang tidak hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan upacara adat agama, tetapi juga menjaga keamanan dan ketertiban dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Belum lama ini ribuan pecalang dari sleuruh desa adat di Bali melaksanakan show of force di lapangan Bajra Sandhi Renon Denpasar.  Kegiatan ini digelar tak lama setelah salah satu ormas nasional mendeklarasikan diri akan beroperasi di seluruh Nusantara.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat Adat Propinsi Bali melalui  kelian desa adat di seluruh Bali meminta lima belas pecalang pada setiap desa adat untuk hadir dan mengikutishow of force. . Lalu bagaimana setiap kelian desa adat menyikapi permintaan tersebut? Ada yang langsung mengiyakan tapi ada juga yang ragu-ragu. Lho kok ada yang ragu-ragu sih?  Ya kelian adat tersebut berfikir bahwa kehadiran pecalang ke Denpasar tidak didanai sedangkan dalam anggaran desa adat tidak ada pos operasional pecalang. Pertimbangan lain, mereka merasa tidak nyaman karena mereka hanya punya kewenangan dan bertugas  di wewidangan masing-masing. Mereka yang menjadi pecalang di desa adat pastilah dikenal oleh masyarakat adat setempat sehingga akan menimbulkan wibawa bagi pengguna pkaian pecalang itu sendiri. . Disatu sisi pecalang bukanlah alat Negara. Mereka  bukan aparat bersenjata  dan symbol kekuatan. Mereka bertugas dengan kearifan local untuk menjaga ketertiban dengan pendekatan berbasis harmoni.

Tugas mereka bukan menebar rasa takut, melainkan menjaga rasa aman. Bukan tampil gagah dalam formasi parade, melainkan hadir diam-diam sebagai penjaga ketertiban adat saat upacara keagamaan atau kegiatan tradisi berlangsung. Begitu tugas adat selesai, mereka kembali ke peran sosialnya sebagai warga desa biasa, tanpa keistimewaan, tanpa arogansi.  Namun ketika pecalang mulai dilibatkan dalam kegiatan yang jauh dari konteks wewidangan apalagi dengan gaya demonstrative maka ada yang perlu ditanyakan: apakah ini masih kearifan lokal, atau sudah menjelma menjadi alat simbolik kekuasaan? Ketika pecalang kehilangan batas antara tugas adat dan kepentingan politik atau pencitraan, bukankah akan mengorbankan esensi luhur itu sendiri. Relakah kita  jika pecalang berubah dari pelayan masyarakat menjadi alat tekanan? Bukankah kekuatan pecalang ada pada keterikatan moral dengan krama adat?

Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(Tut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *