Catus Pata, Debat perdana antar calon bupati dan wakil bupati Buleleng periode 2025-2030 telah berlangsung dengan lancar. Namun demikian bukan berarti tanpa catatan. Masih banyak catatan yang perlu disempurnakan.
Dari sisi format, ketua KPU Bali dalam sebuah kesempatan ingin membuat format yang tidak menegangkan. Ia ingin mengadopsi kearifan lokal saat paruman berlangsung berupa lesehan. Namun tampaknya ide tersebut belum bisa diterima oleh para pihak hingga format kembali seperti semula. Formal dan menegangkan.
Dari sisi keamanan tampaknya tidak diragukan lagi. Kapolres Buleleng tidak mau under estimate. Aparat berseragam dan intelijen dikerahkan untuk menjamin keamanan debat perdana. Metal detektor diterapkan Alhasil debat tanpa gangguan keamanan sedikitpun. Hanya ada satu sorak yang sempat mengumandang ketika salah satu paslon naik podium.
Lalu bagaimana dengan pemanfaatan media? Nah ini yang perlu dikritisi. Media TV yang menyiarkan secara langsung adalah TVRI sedangkan radionya adalah RRI. Yang menjadi pertanyaan, apakah siaran TVRI dapat diterima diseantero Buleleng? Sedangkan diketahui bahwa debat ini sangat dibutuhkan oleh seluruh masyarakat Buleleng agar dapat melihat calon-calon pemimpin mereka kelak. Rakyat ingin melihat mimik bukan gimick seperti yang beredar selama ini. Ingat Buleleng adalah kota pendidikan, bagaimana bisa mendidik masyarakat jika hanya untuk menonton debat saja mereka harus merogoh kocek untuk membeli paket data? Belum lagi sinyal yang tidak stabil pada sejumlah desa di Buleleng. Ingat dari beberapa sumber survey massa mengambang pemilih buleleng masih berkisar 5 persen lebih lho. Mereka yang tingkat menengah keatas tentu ingin melihat dan memilih calon dengan pikiran dan akal yang sehat. Satu-satunya parameter bagi akademisi adalah debat bukan gimmick.
Sudah semestinya KPUD Buleleng merangkul tv dan radio swasta untuk berpartisipasi. Tapi jangan gratis dong. Tv dan Radio swasta juga bayar pajak kok. Mudah mudahan pada debat berikutnya dapat diakomodir dengan mereley siaran tv dan radio yang peralatan dan sdm nya dibiayai oleh pemerintah.
Lalu bagaimana dengan peran Bawaslu? Bawaslu adalah satu-satunya lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menyatakan pemilu legitimate ataukah terjadi pelanggatan. Maka sudah selayaknya Bawaslu diberikan kesempatan untuk menyampaikan tatatertib pelaksanaan debat. Hal ini untuk memberikan peran dan toh pengawasan berjalan dengan baik. Bukan sekedar baca tatib tanpa roh.
Sinkronisasi antara moderator dan pemandu sorak sudah semestinya dimatangkan bahkan bila perlu digladikan. Jangan sampai pemandu sorak minta penonton bertepuk tangah, ehhh moderator malah meminta penonton tenang. Siapa yang digugu? Siapa yang harus ditiru??
Lalu bagaimana dengan pelaksanaan debat perdana??
Tampaknya teknis elektronik masih menjadi kendala. Suara yang keluar dari mikrofon calon nomor 1 dan nomor urut 2 berbeda. Penonton dan pendengar tidak mau tahu alasan teknis tersebut. Mudahan pada debat kedua bisa disempurnakan. Hal yang cukup fatal juga perlu disempurnakan adalah pengecekan timer dan tv monitor.
Betapa tidak ketika paslon nomor urut 1 Nyoman Sugawa Korry memaparkan visi misi yang mestinya terbaca pada tv monitor, eh malah tv nya mati. Pun demikian politisi asal desa Banyuatis ini tetap melayangkan protes
Timer juga sempat terlambat hidup.
Mental diatas panggung perlu dipersiapkan dengan matang, kalau tidak, salah sebut nomor urut bisa terjadi. Walau sudah menjabat dua periode calon bupati Nyoman Sutjidra sempat salah sebut nomor urut.
Pada sesi terakhir sudah semestinya KPU menginisiasi pasangan calon untuk saling bersalaman diatas panggung lalu foto bersama. Kesan kebersamaan dan bersatu membangun Buleleng harus terus digemakan dalam setiap kesempatan. Hal ini perlu untuk memberikan pendidikan kedewasaan berdemokrasi. Yang terakhir bagaimana meramu debat Pilkada menjadikan masayarakat ngedat
Selamat mempersiapkan diri untuk menyongsong debat berikutnya
Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(Tut)