Senandung Giri : Saat Kremasi Menjadi Alternatif Menuju Sunia Loka

Catus Pata, Kremasi bagi Sebagian umat hindu di kabupaten Buleleng kini sudah semakin lumrah. Bahkan kini sedikit sedikit kremasi, sedikit sedikit kremasi, walau tempat kremasi masih sangat sedikit. Hal ini seiring dengan perkembangan jaman yang tidak memungkinkan minta ijin kerja sampai berhari-hari, efisiensi, factor ekonomi dan sejumlah pertimbangan lainnya. Tak ayal kini di Kabupaten Buleleng crematorium mulai dibangun oleh sejumlah Yayasan bahkan desa adat. Salah satunya adalah crematorium atau petunon Desa Adat Buleleng. Petunon yang berdiri pada masa Covid 19 itu kini semakin dikenal oleh kalangan masyarakat, bukan hanya di Bali namun juga diluar Bali. Terbukti banyak tamu manca negara yang meninggal di Bali dikremasi di Petunon desa adat Buleleng mengingat petunon ini bersifat universal.

Pada awal mula pendiriannya tidak sedikit umat yang apatis atau oleh masyarakat Buleleng dikenal dengan istilah meboya. Namun desa adat Buleleng berdasarkan paruman bergeming mengingat kremasi bukan bentuk pembangkangan terhadap tradisi, melainkan wujud keberanian untuk beradaptasi tanpa kehilangan makna. Di Desa Adat Buleleng, perubahan ini tidak mencederai adat, justru memperkuat esensinya: pelayanan kepada umat. Keluarga yang dulunya merasa terpinggirkan karena tak mampu melaksanakan ngaben, kini mendapat ruang untuk tetap menjalankan kewajiban suci tanpa beban berlebih. Masyarakat adat yang masih menggunakan petunon lama dengan menggunakan wadah, bukan ambulance juga masih diberikan ruang untuk memnafaatkan setra lama.  Bukan hanya itu keluarga juga dapat memilih pemuput sesuai dengan warna kulit meereka walau sesungguhnya Ketika seseorang sudah didwijati semestinya tidak ada lagi perbedaan warna kulit.

Berbagai fasilitas kini dilengkapi, penataan areal semkain asri terus dilakukan dibawah kendali kelian desa adat Buleleng Ir Nyoman Sutrisna,MM. Tak salah jika banyak pengunjung yang merasakan kenyamanan mereka memanfaatkan petunon desa adat Buleleng. Ruangan secretariat juga dibkembangkan makin representative. Penguna setra adat Buleleng juga dimanjakan oleh pengelola. Buktinya pengguna toilet juga ditunggu oleh petugas yang setia menyempurnakan penyiraman pasca digunakan. Walau halaman parkir cukup luas namun parkir juga terus dibenahi dengan melibatkan petugas parkir khusus. “Sing care di sema” ujar sejumlah pemanfaat setra. Bukan hanya itu setra adat Buleleng yang memiliki lahan sekitar

Saat kremasi menjadi alternatif, dan ketika desa adat Buleleng mulai membuka diri kita dapat melihat sebuah kebijakan baru di Bali. Apaan tuch?  Sebuah keberanian untuk menyesuaikan diri dengan zaman, tanpa kehilangan jati diri mengingat  Sunia Loka tak menuntut kemewahan, ia hanya meminta ketulusan dan keiklasan. Ya nggak ya nggak? Karena sesungguhnya di mata para dewa kejujuran spiritual jauh lebih utama ketimbang kemewahan dan kemegahan ritual.

Tim Pemberitaan dewata Roundup.(Tut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *