
Catus Pata, Akhir tahun seharusnya menjadi momentum evaluasi yang jujur bagi Pemerintah Kabupaten Buleleng. Keterbatasan fiskal yang terus berulang tidak lagi bisa dipandang sekadar sebagai kondisi objektif, melainkan sebagai persoalan struktural yang menuntut keberanian mengambil keputusan strategis. Tanpa refleksi mendalam, keterbatasan anggaran hanya akan menjadi dalih pembenaran atas lambannya pembangunan dan ketimpangan pelayanan publik.
Ruang fiskal Buleleng yang terbatas memaksa pemerintah Kabupaten Buleleng menentukan skala prioritas. Namun dalam praktiknya, publik masih kerap mempertanyakan arah kebijakan anggaran apakah benar berpihak pada kebutuhan dasar masyarakat, atau justru terserap pada belanja yang minim dampak langsung. Ketika akses infrastruktur, layanan kesehatan, dan kualitas pendidikan masih timpang, efektivitas pengelolaan anggaran patut dievaluasi secara serius. Tak salah Ketika DPRD Buleleng benar-benar memelototi Kebijakan Umum Anggaran, KUA PPAS anggaran tahun 2026. Bahkan pembahasan ini sempat memunculkan spekulasi apakah Dewan sedang memasang bargaining menekan eksekutif? Atau benar-benrar melaksanakan fungsi anggaran untuk memastikan kebijakan eksekutif berpihak pada rakyat.
Disatu sisi keberanian duet Bupati Nyoman Sutjidra-Gede Supriatna mengambil kebijakan tidak populis dengan memangkas tambahan Penghasilan Pegawai,TPP dilingkup PNS Pemkab Buleleng patut diacungi dua jempol. Keterbatasan fiskal seharusnya mendorong efisiensi dan inovasi, bukan memperkuat pola belanja rutin yang berulang dari tahun ke tahun. Upaya optimalisasi pendapatan daerah dan penggalian potensi ekonomi lokal harus terus dilanjutkan melalui terobosan dan ide-ide kreatif.
Di sisi lain, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana keterbatasan fiskal direspons melalui kebijakan yang adil dan rasional. Tanpa keterbukaan, kepercayaan publik akan terus tergerus, dan partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam pembangunan hanya menjadi pepesan kosong.
Refleksi akhir tahun ini seharusnya menjadi titik balik. Pemerintah daerah perlu berani melakukan koreksi kebijakan, memangkas belanja yang tidak produktif, serta memperkuat program yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Kritik publik tidak boleh dianggap sebagai gangguan, melainkan alarm peringatan atas kebijakan yang belum berjalan pada jalur yang tepat.
Memasuki tahun yang baru, Buleleng tidak membutuhkan janji normatif, tetapi langkah nyata. Keterbatasan fiskal adalah realitas, namun kegagalan mengelolanya dengan tepat adalah pilihan. Dari refleksi inilah publik menunggu keberanian, ketegasan, dan komitmen pemerintah daerah untuk menjadikan anggaran sebagai alat keadilan sosial, bukan sekadar rutinitas administrative ya nggak ya nggak
Tim Pemberitaan Dewata Roundup.(tut)
